“Ibu!” Teriak Genna dari dalam kamarnya.
Suara gemuruh langkah kaki yang terburu-buru menuju kamar Genna semakin mendekat dan ketika pintu kamar itu dIbuka, “Ada apa teriak-teriak seperti itu? Kau ini, kebiasaan sekali.” Omel Ibu.
“Bu, suara itu!” Genna membuka selimutnya dan turun dari ranjangnya yang nyaman.
“Kau kan bisa menasehatinya, Nak. Itu tetangga depan kita, sepertinya dia ingin kau segera bangun.”
“Zeen! Menyebalkan!”
“Ya sudah, Ibu kembali ke dapur dulu. Cepat turun dan mandi. Jangan lupa gosok gigi, mulutmu bau sekali.” Ibu meninggalkan Genna sambil nyengir.
Genna tak henti-hentinya menggerutu karena kesal. Dia berdiri tegap, segera menuju jendela kamarnya dan perlahan membuka jendela yang tadinya masih tertutup. Dia melongok ke kanan dan ke kiri, mencari sumber kekacauan itu. Kemudian matanya menemukan sesosok laki-laki berbadan tinggi memegang bola dengan kedua tangannya sedang menengadah ke arah Genna sambil menjulurkan lidahnya. Sontak Genna langsung naik pitam.
“Heh, Bodoh! Kau bisa melihatku marah kan?” Teriak Genna.
“Aku bisa dan kau terlihat lebih tua saat marah Hahaha.” Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak.
“Bocah menyebalkan!” Teriak Genna lagi.
Tanpa basa-basi, Genna bersiap keluar dari rumah dan menghampiri laki-laki yang dianggapnya menyebalkan itu.
“Apa dia tidak bisa melihatku tidur nyenyak untuk sehari saja? Dasar bodoh!” Gerutu Genna saat menuruni tangga dan semakin dekat dengan pintu depan.
Genna membuka pintu, cahaya matahari pagi kala itu memasuki tiap sudut rumah yang sebelumnya agak gelap. Tiba-tiba laki-laki tadi muncul di hadapan Genna, itu cukup mengagetkan.
“Zeen!” Seru Genna kaget.
“Hai, Kakak.” Sahut Zeen dengan senyum manisnya.
“Zeen…” Genna memulai dengan lembut. “Kau tahu kan, sudah beratus-ratus kali kau melakukan hal tadi?”
Memang, setiap hari Minggu, Zeen tak pernah kelewat untuk membangunkan Genna dengan caranya yang bisa dibilang aneh dan membuat dongkol orang tapi hal itu cukup ampuh.
“Ya.” Singkat Zeen tanpa rasa bersalah.
“LALU APA KAU INGIN MEMBUATKU STRES DENGAN SEMUA HAL ITU, HAH!?” Sekarang dengan nada yang super tinggi.
“Kak…”
“Jangan panggil aku dengan sebutan bodoh itu!” Potong Genna
“Baiklah.”
Zeen berbicara lebih sedikit dewasa. “Aku hanya ingin kau bangun. Itu saja.” Katanya sambil melangkah pergi. “Oh iya…” Dia berbalik, “Kau sebaiknya cepat mandi dan menggosok gigi karena mulutmu itu mengeluarkan bau aneh.” Tambahnya dan segera berlalu.
“Huh!” Genna menggebrak pintu.
“Nak, hati-hati! Pintu itu rapuh.” Teriak Ibu dari dapur.
“Aku tahu, Bu.”
Beberapa jam kemudian, tampak Ibu sedang menyiram bunga-bunga kesayangannya di teras depan.
“Hai, Bu.” Sahut Zeen muncul tiba-tiba.
“Oh hai, Zeen. Kau ini mengagetkan Ibu saja.” Kata Ibu setengah kaget.
“Apa Genna sudah mandi?” Bisik Zeen.
“Iya, sudah. Sebaiknya kau segera menemuinya, dia terlihat sangat muram hari ini.”
“Baiklah. Aku masuk ya, Bu.” Zeen masuk ke rumah dan segera menemukan Genna yang tengah duduk terpaku di hadapan televisi dengan acara komedi terlucu. “Hai, Bodoh.” Sapanya.
“Hai juga, Bodoh.” Balas Genna tanpa ekspresi.
“Kau ini menonton TV atau melamun?”
“Dua-duanya.”
Susanana hening, hanya ada suara pelawak yang muncul di TV dan itu tidak membuat Genna maupun Zeen tertawa sedikitpun. Tak ada gunanya.
“Pergilah.” Genna memulai. “Aku masih kesal padamu.”
“Apa gara-gara tadi?”
“Bukan tapi soal kemarin. Cepat pergi!” Bentak Genna.
“Baik, aku pergi.” Kata Zeen lalu pergi.
Setelah beberapa lama Zeen pergi, Genna meneteskan air matanya. Namun, tak lama setelah itu Zeen kembali.
“Apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu sedih?” Tanya Zeen tanpa basa-basi.
Genna berdiri tegap, “Apa kata-katamu kemarin itu lelucon bodoh lagi?”
“Tidak, aku serius.”
“Aku tak melihat keseriusan di matamu.” Genna mulai membentak. “Yakinkan aku kalau kau memang benar bersungguh-sungguh. Aku tak mau terus-menerus dalam keraguan. Aku bisa sampai sekarang adalah berkat kau.”
“Aku menyukaimu, aku menyayangimu.” Zeen menunduk
“Lalu?”
“Lalu apanya?”
“Lupakan saja.” Genna berbalik memunggungi Zeen. “Besok aku sudah harus pergi ke Australia. Aku akan melanjutkan study-ku di sana.”
“Benarkah? Itu bagus.”
Tanpa berkata apa-apa lagi Genna meninggalkan Zeen menuju kamarnya, mengunci pintu kamar rapat-rapat dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
“Dasar bodoh! Hanya itu saja? Aku ingin kejelasan. Aku tak tahu harus berkata apa lagi.” Gerutu Genna pelan, dia menangis lagi.
Genna bingung, dia tak tahu harus berbuat apa lagi dan tak tahu harus berpikir apa lagi. Dia hanya ingin kejelasan dari suatu hubungan yang telah Genna dan Zeen jalani selama ini tetapi dalam benaknya seperti tak ada hak bagi dirinya untuk menuntut hal itu.
Keesokan harinya Zeen kembali mengunjungi Genna. Dia menjumpai Ibu yang sedang memasak di dapur.
“Bu, Genna mana? Aku akan mengantarnya ke bandara.”
“Lho, apa Genna tak memberitahumu? Dia berangkat semalam.” Ibu heran.
“Semalam? Dia bilang padaku berangkat hari ini.”
“Iya, jadwalnya dipercepat. Entahlah, dia itu sulit dimengerti. Sebelum berangkatpun dia terlihat begitu sedih dan lesu. Maaf ya, Zeen.”
“Aku akan menghubunginya saja.”
“Dia tak membawa ponselnya,”
Genna pergi tanpa pamit kepada Zeen, diam-diam dia mengubah rencana dan ingin segera pergi menyimpan semua ketidakjelasan yang menggantung tentang hubungannya dan Zeen di dalam hatinya rapat-rapat. Entah apa yang dirasakan Zeen saat itu, entah perasaan menyesal atau perasaan yang biasa saja tapi yang pasti semua perasaan itu tak akan tersalurkan lagi.
0 komentar:
Posting Komentar